Posisi kehidupan Manusia
Antara Huruf “Kaf” dan Huruf “Nun”

“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” maka jadilah sesuatu itu. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan.”
(Yaasiin [36] :82-83)

Ayat tersebut menjelaskan tentang Iradah Allah (kehendak Allah) terhadap suatu perintah, urusan, keadaan, atau masalah. Kehendak Allah adalah salah satu sifat wajib Allah Swt yang dalam Ilmu Tauhid disebut Al-Iradah. Al-Iradah artinya bahwa Allah Swt menghendaki sesuatu tanpa ada unsur paksaan oleh siapapun dalam waktu kapanpun. Kehendak-Nya adalah kehendak-Nya sendiri tanpa butuh bantuan dengan yang lain.
Perkataan Allah pasti  terjadi (terwujud) bila Allah sudah menghendaki Kun (Jadi) Fayakun (maka jadilah), artinya Allah Swt  tidak butuh pengulangan kata dan penguat untuk menghendaki sesuatu. Dalam sebuah syair disebutkan,

Jika Allah menghendaki satu perintah. Dia hanya mengatakan satu perkataan:”Jadi,” maka jadilah

Manusia diberi kebebasan berhendak dari Allah Swt untuk menentukan pilihan, keinginan, harapan, dan cita-cita. Dalam hal Akidah (keimanan/beragama), Allah memberikan kebebasan berkehendak untuk manusia menentukan pilihan agama, beriman/Islam atau kafir (Al-Kahfi:18). Demikian juga dalam hal kehidupan, Semua manusia tak terkecuali menghendaki kebahagiaan, ketenangan, kesejahteraan dan diridhoi Allah Swt tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat kelak.
Ketika manusia tertimpa musibah, mengalami ujian/azab, dalam kondisi kefakiran, kemiskinan, dan permasalahan hidup lainnya, maka timbul perasaan kekhawatiran, kesedihan, kecemasan dan ketakutan menyertainya. Dalam kondisi seperti ini, manusia timbul kehendak untuk memperbaiki dan mengubah jalan kehidupannya ke arah yang lebih menyenangkan, bahagia, dan sejahtera. Manusia berharap semua yang dikehendakinya segera, terwujud, terrealisasi dan terjadi.
Segala bentuk ujian atau azab dan peroblematika kehidupan lainnya adalah sebuah keniscayaan yang Allah turunkan kepada manusia untuk menguji manusia yang terbaik dan paling bertaqwa di sisi-Nya. Di saat yang bersamaan, kondisi manusia saat itu sedang dihapus dosa-dosanya manakala ia bersabar menghadapinya. Ujian/azab, dan musibah di dunia pada hakikatnya adalah wujud kasih sayang Allah terhadap manusia. Dalam sebuah hadis dijelaskan,

Dari Anas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, Ia menyegerakan siksanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, Ia menangguhkan balasan dosanya sehingga Allah akan membalasnya di akhirat pada hari kiamat.” Rasulullah SAW juga bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu sebanding dengan besar ujian. Apabila Allah Ta’ala mencintai suatu kaum, Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha, ia mendapatkan ridha Allah baginya dan barangsiapa yang kesal, ia memperoleh murka Allah.” (HR.At-Tirmizi)

Hadis ini menjelaskan balasan atas kesalahan seorang manusia. Balasan yang disegerakan di dalam kehidupan seseorang di dunia lebih baik baginya ketimbang ditangguhkan kelak di hari pembalasan atau hari kiamat. Ini karena, jika ia mendapatkan balasan di akhirat, siapa yang mau dan mampu membantunya? Ketika di dunia, manusia masih meminta pertolongan kepada orang tua, para ustadz, kyai dan ulama serta orang yang ahli dibidangnya. Sebaliknya, kehidupan di akhirat tidak demikian, dalam al-Qur’an dijelaskan,

“hari ketika seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orng lain yang semuanya itu berada dalam genggaman kekuasaan Allah” (Al-Infithaar [82]: 19)

Ujian, azab, dan musibah yang menimpa manusia di dunia ini sebenarnya akibat ulah manusia itu sendiri yang bersalah/berdosa kepada Allah Swt. Manusia tidak dapat mensyukuri dengan sebaik-baiknya nikmat yang Allah berikan kepada manusia yang begitu besar, disamping sebagai kholifah di dunia, juga sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan bekal di akhirat kelak, seperti yang difirmankan Allah Swt,

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka disebabkan perbuatan tangan kaliansendiri dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan).” (Asy-Syuraa  [42]:30)

Manusia disadari atau tidak, pasti mempunyai dosa baik yang tidak disengaja maupun yang disengaja. Ketika manusia lalai apalagi melupakan kepada Allah, maka ia telah benar-benar berdosa. Dosa inilah yang dapat menjadi penghalang do’a yang panjatkan kepada Allah menjadi tidak segera terwujud (terjadi).  Dalam sebuah Hadits, Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Abu Dzarr ra. Berkata: Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah Swt berfirman:’ Hai Hamba-hamba-Ku, seluruh kalian adalah berdosa kecuali orang yang Aku berikan ‘afiyat (lindungi). Maka, minta ampunlah kalian kepada-ku, niscaya Aku mengampuni kalian. Seluruh kalian adalah fakir kecuali yang Aku cukupi. Sesungguhnya Aku adalah pemurah, dimana tidak ada orang yang pemurah yang memberikan kemurahannya. Aku melakukan apa yang Aku kehendaki. Pemberian-Ku adalah al-Kalam dan siksa-Ku adalah al-Kalam. Jika Aku menghendaki sesuatu, Aku hanya mengatakan:’Jadi’, maka Jadilah’”

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa seluruh manusia telah berdosa dan dosa itu akan diampuni manakala ia mau berkehendak, berupaya dan berusaha memohon ampun kepada Allah. Allah akan berkehendak jika manusia itu sendiri mau mengupayakan kehendaknya dengan sungguh-sungguh.  Seperti perkatakan ahli sufi, yang dinukil oleh Syekh Musthofa al-Ghalayiini dalam bukunya ‘Izhatunnasyi’iin,

Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba, jika mereka menghendaki, Allahpun menghendaki.

Menangkap ungkapan ahli Sufi tersebut, jadi seolah kehendak Allah mengikuti kehendak manusia dan manusia memposisikan dirinya menjadi orang yang pantas, tepat dan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Sebagai ilustrasi, ketika anak-anak kita duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) pada jam belajar sudah berakhir, lonceng berbunyi sebagi tanda waktu pulang sekolah. Anak-anak dengan riang gembira ingin sekali segera pulang. Setelah ketua kelas memimpin hormat dan do’a, guru bersayembara.
Guru berkata:”Siapa yang duduknya paling rapih, maka boleh pulang duluan.”  Anak-anak dengan antusias memposisikan dirinya sebagai yang terbaik dan terrapih dengan teman-temannya yang lain, dengan harapan pulang terlebih dulu dan itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi mereka. Ketika guru menujuk salah satu dari mereka, maka dialah yang dinilai oleh guru yang paling pantas, tepat dan sesuai, yakni yang terrapih sesuai yang dikehendaki guru tersebut.
Sebagaimana anak-anak SD di hadapan gurunya, demikian pula posisi manusia di hadapan Allah Swt yang Maha Kuasa. Manusia harus percaya dan mempercayai dengan penuh keyakinan bahwa Allah Swt  Maha Pengampun, Maha Pemurah, Maha Pemberi, Maha Pengatur segalanya, Maha Sempurna dan tidak ada Kekurangan sedikitpun. Agar manusia mendapatkan Iradah, kehendak, dan pertolongan Allah, mulailah berkehendak untuk bertaubat, ikhtiar (berusaha), berdo’a serta memposisikan dirinya sebagai orang yang pantas, tepat dan sesuai dengan yang dikehendaki Allah Swt.
Bila Allah sudah berkehendak atas sesuatu yang dihadapi manusia, Allah hanya berkata Kun (Jadi), Fayakuun (maka jadilah).  Manusia dengan segala permasalahannya dihadapan Allah di antara huruf kaf dan huruf nun, bila Allah sudah berkata Kun (Jadi), Fayakuun (maka jadilah), dengan syarat manusia memposisikan diri sebagai orang yang pantas, tepat dan sesuai dengan yang dikehendaki Allah Swt. Sebuah sya’ir menyebutkan,

Sesungguhnya manusia di hadapan Allah antara huruf Kaf dan Nun, bila Allah menghendaki, maka terjadi. Bila Allah tidak menghendaki, maka tidak terjadi.